Kisah Hikmah penting untuk bertemu Rasulullah SAW setiap saat.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Kelahiran dan Asal Muasal Nasabnya
Kisah kita ini dimulai dengan mimpi seorang ibu hamil bernama Fathimah binti Muhammad bin Ahmad asy-Syarif di suatu malam. Ia bermimpi mendengarkan malaikat menyeru “Berbahagialah, engkau akan melahirkan seorang anak istimewa yang berbeda dengan yang lain”.
Tepat pada tahun 596 H, lahirlah seorang bayi laki-laki di kota Fes, Maroko. Sang bayi ini lahir dari keluarga yang mulia. Ia adalah seorang putra bungsu dari seorang ulama bernama syekh Ali bin Ibrahim al-Husaini.
Sang sufi ini bernasab lengkap Syekh Ahmad al-Badawi bin ‘Ali bin Ibrahim bin Muhammad bin Abu Bakar bin Isma’il bin Umar bin ‘Ali bin ‘Utsman bin Husain bin Muhammad bin Musa bin Yahya bin ‘Isa bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad bin Hasan al-Askari bin Ja’far bin Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain, putra Fathimah az-Zahrah binti Rasulillah. Di antara saudara-saudari dari Syekh Ahmad al-Badawi adalah al-Hasan, Muhammad, Fathimah, Zainab, dan Ruqayyah.
Dahulu leluhurnya yang bernama Syekh Muhammad al-Jawwad beserta keluarganya meninggalkan kota Makkah karena penindasan yang dilakukan oleh Gubernur al-Hajjaj bin Yusuf terhadap para keturunan Rasulullah. Di kemudian hari, sebagian keturunan Syekh Muhammad al-Jawwad menetap di perkampungan Zaqaq al-Hajr kota Fes Maroko.
Pada suatu malam yang dingin tepatnya malam senin tahun 603 H, Syekh Ali bin Ibrahim bermimpi, “Wahai Ali, bangunlah dari tidurmu, pergilah bersama anak-anakmu ke kota Makkah, di sana engkau akan menemukan rahasia serta kabar gembira.” Ia pun menceritakan mimpinya kepada keluarga tercintanya.
Perjalanan berat di mulai, selama 8 tahun lamanya sang sufi Ahmad al-Badawi yang masih kecil mengarungi perjalanan bersama keluarganya menuju kota Makkah. Syekh Ahmad al-Badawi belajar ilmu tajwid, fikih madzhab Syafi’i hingga ilmu Hadits kepada para ulama yang ada di kota Makkah.
Selain itu, Syekh Ahmad al-Badawi juga belajar keahlian memanah, menggunakan pedang serta berkuda. Ia terkenal dengan sifat pemberani serta dermawan sehingga dijuluki dengan al-‘Attab, ahli berkuda yang hebat serta julukan Abul Futyan, yang sangat dermawan.
Perubahan Hidup Setelah Meninggal Ayahnya
Waktu berjalan sangat cepat, sang sufi syekh Ahmad al-Badawi telah berusia sekitar 31 tahun. Di usia yang matang ini, ia harus kehilangan sosok ayah yang menyayanginya. Dunia pun terasa jauh berbeda setelah wafatnya sang ayah. Kini, syekh Ahmad al-Badawi merasa telah waktunya untuk menempuh jalur sufi, jalur yang ditempuh oleh leluhurnya terdahulu.
Ia pun memilih menyendiri di pegunungan Abu Qubais, pinggiran kota Makkah. Sang sufi mulai mengenakan kain penutup wajah agar ia tak dikenali banyak orang. Kelak, ia dijuluki dengan al-Badawi karena kebiasaannya memakai kain penutup wajah sebagaimana layaknya orang arab pedalaman. Di gunung Abu Qubais inilah ia berguru kepada seorang sufi bernama syekh Bari, salah satu murid syekh Ahmad ar-Rifa’i.
Suatu malam sang sufi bermimpi mendapatkan petunjuk Allah untuk hijrah menuju negeri Iraq, negeri para kekasih Allah. Sang sufi pun mengajak saudaranya yang bernama syekh Hasan untuk mengembara dengan misi yang mulia mencari guru menuju Allah. Perjalanan mulia ini tercatat dimulai pada tanggal 10 Muharram tahun 634 H.
Kota Baghdad yang penuh dengan makam para kekasih Allah telah ia jelajahi. Bahkan, perkampungan Ummi Ubaidah di mana syekh Ahmad ar-Rifa’i dimakamkan juga telah ia datangi. Hingga suatu malam, datanglah syekh Abdul Qadir al-Jailani beserta syekh Ahmad ar-Rifa’i bertamu dalam mimpinya.
“Wahai Ahmad, kami datang kepadamu membawa kunci kewalian tanah Iraq, Yaman, India, Romawi, daerah timur dan barat di tangan kami. Kunci kewalian manapun yang engkau inginkan akan kami berikan,” ujar syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad Ar-Rifa’i.
Syekh Ahmad al-Badawi dengan penuh kerendahan hati menjawab, “Aku tak dapat mengambil kunci kewalian daerah manapun kecuali atas kunci yang Allah kehendaki untukku.” Mimpi ini adalah sebuah pertanda kelak Syekh Ahmad al-Badawi akan mendapatkan derajat kewalian yang agung. Sebulan dua bulan tak terasa, kerinduan kepada kota Makkah al-Mukarramah membuncah. Sang sufi kembali ke tanah suci dengan ribuan kisah pengalaman yang tak ternilai harganya.
Banyak dari kitab sejarah yang mencatat bahwa syekh Ahmad al-Badawi berguru secara langsung kepada syekh Abdul Qadir al-Jailani. Padahal, bila kita runut terpaut sedikit jauh masa hidup keduanya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada tahun 561 H sedangkan syekh Ahmad al-Badawi lahir pada tahun 596 H.
Sekitar setahun setelah kedatangannya kembali ke kota Makkah al-Mukarramah datanglah sebuah isyarat mimpi yang ajaib. Dalam mimpinya, ia mendengarkan perintah “Berangkatlah ke kota Thanta, kelak engkau akan mengajar para sufi di sana.” Mimpi ini terulang hingga tiga kali.
Bertirakat di Luar Kebiasaan (khãriqul ‘ãdãt) dengan Menutup Wajah
Kota Thanta atau yang dahulu dikenal dengan nama kota Thantuda adalah kota yang subur di bagian utara negara Mesir. Tepat pada bulan Ramadhan tahun 636 H, Syekh Ahmad al-Badawi datang di kota Thanta.
Keberadaan Syekh Ahmad al-Badawi di kota Thanta terlihat sangat unik. Ia datang ke kota Thanta dan menetap di loteng rumah milik Ibnu Syuhaith. Berhari-hari hingga berbulan-bulan, Syekh Ahmad al-Badawi bertafakkur, membaca al-Qur’an, beribadah di loteng yang sunyi tanpa makan dan minum.
Di loteng yang kini menjadi tempatnya bermunajat bersama Allah, ia banyak ditemani oleh muridnya yang bernama Syekh Abdul ‘Ali yang kala itu masih usia remaja. Kelak, Syekh Abdul ‘Ali inilah yang merapikan serta mengembangkan ajaran tarekat Syekh Ahmad al-Badawi.
Metode dakwah yang dipakai Syekh Ahmad al-Badawi tergolong unik. Syekh Abdul ‘Ali membawakan orang-orang yang yang ingin mendapatkan keberkahan Syekh Ahmad al-Badawi ke loteng. Kemudian, Syekh Ahmad al-Badawi akan menasehati dan mendoakan di loteng tanpa sedikitpun membuka penutup wajahnya. Tak ada satupun tamu yang mengetahui wajah asli sang sufi.
Pernah suatu ketika seorang muridnya bernama Syekh Abdul Majid meminta untuk melihat wajah sang syekh.
“Wahai guruku, aku ingin melihat wajah muliamu agar aku mengenalmu, meskipun aku harus mati karena tak kuat melihat wajahmu,” ujar Syekh Abdul Majid. Sang guru pun membuka penutup wajahnya. Tak lama kemudian, Syekh Abdul Majid terjatuh dan meninggal di tempat.
Pernah suatu ketika Syekh Ibnu Daqiq Al-‘ied sebagai mufti tertinggi negara Mesir menyangsikan ajaran Syekh Ahmad al-Badawi. Maka, berkirim suratlah sang mufti kepada syekh Abdul ‘Aziz ad-Daraini, salah satu tokoh ulama kota Thanta.
“Wahai syekh, ujilah keilmuan Syekh Ahmad al-Badawi, apabila engkau mengenalnya sebagai ahli ilmu maka mintakanlah doa untukku.” Dihaturkanlah surat sang mufti kepada Syekh Ahmad al-Badawi.
”Wahai Abdul ‘Aziz, katakanlah kepada sang mufti ‘Wahai syekh, perbaikilah hiasan tulisan al-Qur’an yang terpampang di rumahmu, kesalahannya ada di sini, di sini, dan di sini. Begitu juga, ingatlah bahwa al-Qur’an yang engkau pakai memiliki kesalahan kepenulisan, satu di surat ar-Rahman dan satu di surat Yasin.’”
“Wahai Abdul Aziz, katakanlah kepada sang mufti:”
مَنْ وَصَلَ إِلَى مَقَامِ تَسْلِيْمٍ فَازَ بِرِيَاضِ النَّعِيْمِ
“Barang siapa yang sampai pada derajat kepasrahan, niscaya ia akan beruntung mendapatkan taman surga.’”
Suatu ketika, karena sangat penasaran Syekh Daqiq al-‘Ied datang secara langsung ke loteng Syekh Ahmad al-Badawi. Sang mufti agung ini terheran dengan keadaan Syekh Ahmad al-Badawi yang terlihat seperti seorang yang linglung.
“Subhanallãh, bagaimana mungkin masyarakat meyakini kemuliaan dan keramatnya orang ini. Tidak lah ia kecuali seperti orang gila,” ujar Syekh Daqiq al-‘Ied.
Maka, Syekh Ahmad al-Badawi pun menjawabnya dengan sebuah syair:
مَجَانِيْنَ إِلَّا أَنَّ سِرَّ جُنُوْنِهِمْ … عَزِيْزٌ عَلَى أَعْتَابِهِ يَسْجُدُ الْعَقْلُ
“(Sungguh termasuk) orang-orang yang gila, tetapi rahasia kegilaannya sangat bernilai di ambang pintu rahmat Allah, akal manusia takluk di hadapannya.”
Kemudian, Syekh Ahmad al-Badawi memberikan banyak nasihat serta doa. Sang mufti agung Mesir, Syekh Daqiq el-‘ied pun terkagum-kagum serta meminta maaf atas kesalahannya. Di kemudian hari, Syekh Daqiq al-‘Ied menjadi seorang pengikut setianya.
Pada akhir hayatnya, Syekh Ahmad al-Badawi mewasiatkan kepada Syekh Abdul ‘Ali atas dasar-dasar tarekatnya yaitu; tidak boleh berbohong meskipun dalam hal kecil, tidak boleh melakukan perbuatan jahat dan keji, selu menjaga penglihatan mata dari hal yang dilarang Allah, selalu menjaga nama baik, menjadi pribadi yang pemaaf, selalu takut kepada Allah, selalu melanggengkan zikir dan tafakkur kepada Allah. Di kemudian hari, tarekat Syekh Ahmad al-Badawi dikenal dengan tarekat Ahmadiyyah.
Sang sufi wafat pada tahun 675 H di kota Thanta. Di kemudian hari, peringatan wafat sang sufi diadakan setiap pertengahan bulan Oktober di kota Thanta selama seminggu penuh. Haul sang sufi adalah haul terbesar kedua di negara Mesir setelah haul Sayyidina Husain, cucu Rasulullah di kota Kairo Mesir.
Pernah suatu ketika seorang sufi bernama Abu Ghaith bin Katilah dari daerah Mahallah Kubro merasa terheran-heran dengan meriahnya haul Syekh Ahmad al-Badawi.
“Aneh sekali, banyak manusia yang merayakan haul Syekh Ahmad al-Badawi. Seandainya saja mereka lebih mengutamakan ziarah ke makam Rasulullah daripada sekadar memeriahkan haul Syekh Ahmad al-Badawi,” ujar Syekh Abu Ghaith dalam hati.
Di dalam acara haul, Syekh Abu Ghaith diberi hidangan makanan yang berlimpah. Tak terasa, ada sebuah duri yang menyangkut di tenggorokannya. Setelah kejadian itu, Syekh Abu Ghaith merasa kesakitan tak sedikitpun ia merasakan nikmatnya makan, minum juga tidur. Tubuh Syekh Abu Ghaith pun kering kerontang bagaikan pelepah kurma.
Setelah sembilan bulan lamanya, datanglah petunjuk dalam mimpi agar ia meminta maaf kepada Syekh Ahmad al-Badawi. Maka, ia ditandu oleh murid-muridnya menuju makam Syekh Ahmad al-Badawi. Belum selesai ia membaca surah Yasin, tiba-tiba keluarlah duri di tenggorokannya. Dengan izin Allah, Syekh Abu Ghaith sehat seperti sediakala.
Bertemu Rasulullah melalui Amalan Sunnah
Sayyid Ahmad Al-Badawi mengatakan bahwa dirinya selalu menjalankan sunah nabi. Namun, ibundanya mempertanyakan kenapa anaknya masih bingung belum bertemu dengan Rasulullah SAW.
“Kalau kamu belum merasa bertemu dengan nabi, berarti cara kamu mengamalkan sunah yang salah. Kalau kamu melakukan sunah nabi, yang kamu ingat siapa? Karena kehadiran nabi di mata dan hatimu ketika melakukan sunah,” tuturnya.
Sang ibu menyarankan agar anaknya mengamalkan sunah nabi sekaligus menghadirkan nabi di mata dan hatinya.
“Jadi, kalau melaksanakan sunah nabi biasakan kita ingat Rasulullah,” katanya.
“Ya ibu, tidak akan aku melaksanakan sunah nabi kecuali aku seolah-olah melihat Rasulullah. Minum lihat Rasulullah, jalan lihat Rasulullah, terus seperti itu,” kata Sayyid Ahmad Al-Badawi.
Suatu ketika, Sayyid Ahmad Al-Badawi bertemu Rasulullah SAW dalam mimpi. Kemudian ia pun lapor lagi kepada ibunya.
“Umi, aku sudah bertemu Rasulullah,” katanya.
‘Maksudmu apa nak?” tanya ibunda.
“Aku sudah bermimpi,” jawabnya.
“Kamu mimpi ketemu Rasulullah nak?” tanya sang ibu lagi.
“Iya, berarti aku sudah menjadi orang besar mi ya?” Ujar wali kelahiran Maroko ini.
Ibunda Sayyid Ahmad Al-Badawi berkata, “Ahmad-Ahmad kalau mimpi ketemu Rasulullah, ibu-ibu tua di kampung biasa melihat Rasulillah. Ente mengaku orang gede, baru mimpi. Ibu-ibu di rumah banyak ketemu Rasulullah,” katanya.
Sang ibu menambahkan, bertemu dengan Rasulullah SAW bukan dalam mimpi. Namun, bertemu yang sesungguhnya.
“Bagaimana aku bisa bertemu?” tanya Sayyid Ahmad Al-Badawi.
“Ahmad apa kau lupa hadits, siapa yang ketemu denganku dalam mimpi akan bertemu secara langsung,” sang ibu mengingatkan.
Sang ibu meminta Sayyid Ahmad Al-Badawi melanjutkan sunah-sunah nabinya. Sejak saat itu, Sayyid Ahmad Al-Badawi lebih khusyuk menjalankan sunah nabi. Misalnya, ketika minum ingat nabi, mau ke toilet sesuai cara nabi, dan sunah lainnya.
Sampai suatu ketika, Sayyid Ahmad Al-Badawi bertemu dengan Rasulullah secara langsung. Ia pun berkata kepada ibunya, “Ibu, aku bertemu nabi di alam nyata.”
“Berapa kali nak ketemu (Rasulullah)?” tanya sang ibu lagi.
Sayyid Ahmad Al-Badawi pun kembali bertanya, “Umi, harus berapa kali bertemu dengan Rasulullah supaya bisa menjadi orang besar?”
“Ahmad, orang besar akan bertemu dengan baginda nabi setiap saat,” jawabnya.
Lalu sang ibu menjelaskan maksud dari bertemu dengan Rasulullah SAW setiap saat. Yakni dalam gerak-geriknya harus dihubungkan dengan Rasulullah SAW.
“Kau tidak boleh putus. Kau tidak akan melangkahkan kaki kecuali hadir bersama Rasulullah. Kau tidak akan berbaring kecuali hadir bersama Rasulullah. Kau tidak akan melihat sesuatu seolah-olah melihat Rasulullah. Lakukan seperti itu. Itulah nabi hadir bersamamu setiap saat,” jelas sang ibu.
Semoga Allah SWT mensucikan rahasia maqamnya yang tinggi dan menganugerahkan kepada kita pantulan cahaya yang telah Allah limpahkan kepada Syaikh Sayyid Ahmad al-Badawi, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
أَلْفَاتِحَةَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللّٰهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى رُوْحِ خُصُوْصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخِ أَحْمَدَ الْبَدَوِيِّ وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَذَوِي الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، أَنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُعْلِيْ دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَنْفَعُنَا بِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ وَنَفَحَاتِهِمْ وَبَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اَلْفَاتِحَةَ أَثَابَكُمُ اللّٰهُ …
Al-fâtihata ilâ hadhratin nabiyyil mushthafâ rasûlillâhi muhammadin shallallâhu ‘alaihi wa sallam, wa ilâ rûhi khushûshan sayyidinasy syaikh ‘ahmadal badawiyyi wa ushûlihim wa furû’ihim wa dzawil huqûqi ‘alaihim ajma’în, annallâha yaghfiru lahum wa yarhamuhum wa yu’lî darajâtihim fil-jannah, wa yanfa’unâ bi asrârihim wa anwârihim wa ‘ulûmihim wa nafahâtihim wa barakâtihim fid-dîni wad-dunyâ wal-âkhirah, al-fâtihata atsâbakumullâh…
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
____
Oleh : H Derajat
Ketua Pasulukan Loka Gandasasmita
• Sumber artikel: Kisah ini dikutip dari Kitab At-Thabaqatul Kubra karya Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani cetakan Darul Fikr, Beirut, Lebanon: 2012 M, dan Kitab As-Sayyid Ahmad al-Badawi karya Dr. Abdul Halim Mahmud cetakan Dar al-Ma’arif, Kairo, Mesir: 2008 M.
Tinggalkan Balasan